Jelang pernikahan Pangeran Harry dan Meghan Markle,  topik obrolan yang cukup viral  di media sosial adalah prediksi gaun pengantin yang akan dipakai oleh calon Putri Kerajaan Inggris tersebut. Saya jadi teringat proses persiapan gaun pernikahan Kate Middleton 7 tahun yang lalu.

Saat itu gaun Putri Kate dibuat oleh para pekerja Royal School of Needlework dengan aturan proses yang sangat ketat. Mereka harus mencuci tangan setiap 30 menit sekali agar renda dan benang tetap bersih. Dan setiap 3 jam, mereka harus mengganti jarum agar tetap tajam untuk menjamin kualitas jahitan terbaik. Mereka bekerja dengan senang dan bangganya, alih-alih bekerja dengan terpaksa mengikuti standar proses yang ketat.

Bagi Anda para profesional dan pengusaha, tentunya sangat mengharapkan suasana di atas bisa terjadi di tempat kerja sehari-hari. Sangat menarik jika kita melihat perkembangan sistem manajemen mutu international  terkini yaitu ISO 9001:2015. Sistem ini juga semakin dipersiapkan untuk menjawab tantangan zaman. Makin jelas penekanan begitu penting implementasi PDCA ‘Plan Do Check Act’ secara menyeluruh dan melibatkan ‘hati’ seluruh karyawan, dan bukan hanya karena kekuatan aturan klausul atau prosedur.

Untuk mampu menerapkan ISO 9001:2015 dengan menyenangkan dan efektif hindari 5 mitos berikut ini.

Mitos di sini adalah pola pikir yang sering dianggap benar, padahal hal ini salah.

Mitos #1:

ISO 9001:2015 diperlukan khususnya bagi perusahaan yang akan ekspor. 

Jelas ini salah. Sertifikasi ISO 9001:2015 bukan jaminan izin ekspor, meskipun terkadang calon pelanggan manca negara menjadikannya sebagai persyaratan dalam kontrak.

Penerapan sistem ini harusnya lebih menekankan jaminan kualitas produk atau jasa yang kompetitif, bukan selembar sertifikat.

Artinya sangatlah baik bagi setiap perusahaan, baik yang eksportir atau pun tidak mereka dapat menerapkan sistem manajemen mutu Internasional ini secara benar. Tidak peduli pelanggan Anda minta atau tidak.  Ibarat belajar bahasa Inggris, bukan karena kita mau tinggal di luar negeri. Namun karena bahasa ini telah menjadi tuntutan untuk kita lebih memiliki daya saing.

Mitos #2:

Kerjakan yang Anda tulis, tulis yang Anda kerjakan.

 

Berapa banyak perusahaan yang terjebak dalam kondisi ini: menjalankan ISO 9000 dengan sekadar menjaga ketaatan terhadap SOP atau Work Instruction yang sudah ada. Berapa sering muncul konflik disebabkan hal yang terlalu birokratis, tanpa menyadari bahwa SOP nya yang harus disesuaikan. Menjalankan  ‘What’ tanpa menekankan alasan ‘Why’ adalah cara paling cepat menjadikan karyawan sebagai ‘robot modern’. Sangatlah tepat perubahan ISO 9001:2015 yang sudah tidak lagi menekankan hal yang lebih bersifat administratif, seperti Quality Manual, prosedur wajib dan pelevelan dokumen kontrol.

Mitos #3:

Penanggung jawab utama ISO di perusahaan adalah MR (Management Representative).

Tidak mengherankan jika keberadaan Management Representative tidak lagi menjadi kewajiban. Hal ini  dipandang karena seringnya  kurangnya ‘ownership’ para pimpinan dari bagian lain dalam menjalankan sistem ini. Mereka lebih mengandalkan sang MR bahkan termasuk membereskan temuan audit di bagian mereka sendiri.

Mitos #4:

Fokus terbesar pelaksanaan ISO 9000 pada saat menghadapi External Audit. 

Berapa banyak perusahaan yang masih  SKS ‘sistem kebut semalam’ karena besoknya mau diaudit. Bukankah sistem ISO itu dirancang perusahaan untuk memudahkan dan menjamin proses kualitas sehari-hari? Namun ada juga mereka yang terjebak dengan sekadar meng’copy paste’ sistem manajemen mutu perusahaan lain yang belum tentu sesuai dengan esensi proses bisnis mereka.

Mitos #5:

Biaya penerapan ISO 9001:2015 itu mahal. 

Justru yang mahal jika kita membayar pihak eksternal untuk sertifikasi, namun kita ‘membohongi’ diri dengan menutupi semua pelanggaran dengan tujuan sekadar tidak menjadi temuan auditor.

Perusahaan atau UKM pun dapat menerapkan ISO 9001:2015 tanpa keharusan sertifikasi. Yang lebih penting bagaimana konsistensi penerapannya dengan benar.

Saatnya kita menerapkan ISO 9001:2015 dengan lebih smart dan FUN. Alih-alih biaya mahal, kita akan mampu mengurangi berbagai jenis pemborosan ‘cost of poor quality’.

 

Soegeanto Tan

Founder FUN MASTER Academy

Pakar budaya kerja dan improvement