Dalam beberapa minggu ke depan ini, pesta demokrasi Indonesia akan diuji dengan pertarungan debat dua pasangan Capres-Cawapres. Sebuah sajian acara yang kita harapkan dapat membangun persepsi publik dengan tepat untuk menentukan pilihannya. Adu visi dan misi, adu kualitas program, dan tentunya adu pencitraan branding. Jika kita melihat fakta acara debat Capres dari negeri Paman Sam ada beberapa hal menarik yang bisa disimak.

Di tahun 2000 antara pasangan George Bush melawan Al-Gore. Bush yang dikenal dengan gaya komunikasi dominannya, berhadapan dengan rivalnya yang cenderung analitis, cermat dengan data dan berbagai perhitungan.  Debat dua gaya komunikasi yang berbeda tersebut, ternyata dinilai sama-sama memiliki kelemahan. Dinilai ‘garing’, kurang sentuhan humanis. Konon napas panjang yang sering ditarik Al Gore dari Demokrat pada saat debat, menyebabkan ketidaksukaan pemilih. Sebaliknya pembisik Bush menyarankan perubahan gaya yang cukup signifikan, Bush harus tampil lebih ramah, memberikan senyum dan salam yang lebih akrab ke rivalnya. Bahkan ketika baru memasuki arena debat di sesi berikutnya, Bush mulai mengarahkan senyumnya ke kamera; seolah-olah menyapa akrab para audiencenya. Kita semua tahu bahwa akhirnya Bush berhasil memenangkan pertarungan dengan nilai yang sangat ketat, setelah memenangkan 25 jatah suara (electoral vote) dari negara bagian Florida.

Fakta menarik lainnya terjadi saat tahun 2012 dimana Calon Presiden  dari Republikan, Mitt Romney berhadapan incumbent Presiden Barack Obama dari Demokrat. Selama debat perdana berlangsung, Romney tampil dengan agresif dan memukau. Berbeda dengan Obama yang terlihat santai dan tidak tegas. Meski dikenal atas kepiawaiannya saat berpidato, capres Demokrat itu justru gagap dan terdiam saat menjawab pertanyaan. “Dengan melihat bahasa tubuh, jelas, Romney adalah pemenangnya,” ujar Janine Driver,pakar bahasa tubuh dan penulis You Can’t Lie to Me. “Kalau Anda berasal dari negara lain dan Anda melihatnya berdasarkan bahasa tubuh, orang akan mengira kalau Romney sudah jadi presiden,” tambahnya. Peggy Hackney, pakar bahasa tubuh dari Universitas California Berkeley dan Universitas New York, menjelaskan kalau Obama tidak mampu mengontrol wajah dan tubuhnya, sedangkan Romney mampu menyalurkan energinya keluar. Namun akhirnya kita tahu, bahwa Obama pada akhirnya tetap menang dengan cukup telak.

Gerakan bahasa tubuh di atas panggung  bisa meninggalkan kesan mendalam yang kuat terhadap pemirsa. Namun melihat dua fakta di atas termasuk hasil akhirnya, kita tentunya setuju bahwa membangun brand tidak hanya dengan pencitraan sesaat.  Brand experiences yang hebat harus dirasakan oleh para pelanggan (rakyat Indonesia). Hal ini perlu didukung dengan platform atau landasan social capital yang kuat.  Suatu brand haruslah berpartisipasi dan menawarkan peluang kepada pelanggannya untuk ikut serta. Inilah pentingnya menciptakan brand ecosystem.  Brand ecosystem adalah suatu fenomena organik yang hidup dan bernyawa dimana peran dari suatu brand adalah untuk mendengarkan, menstimulasi percakapan, menambahkan nilai, memotivasi komunitas yang sudah ada, serta menyediakan pengalaman konten  yang hebat. Target utamanya adalah para pihak yang berpengaruh.

Brand ecosystem  terbentuk dari segala konten yang berhubungan dengan brand  bahkan termasuk komentar yang disebarkan di media social (blogs, Twitter, Facebook, YouTube, Google dll). Menariknya bahwa ekosistem sebuah brand dibangun seiring waktu. Tidak sekedar kampanye-kampanye periklanan, ekosistemnya tidak hilang ketika kampanyenya selesai. Ekosistem tersebut akan tetap hidup dan berkembang dengan terus dibangun oleh eksistensi brand itu sendiri. Bahan bakarnya adalah 3C yaitu conversation (percakapan), community (komunitas), dan content (konten).

Siapa pun akhirnya pemenang dari pesta demokrasi kita, tentunya rakyat Indonesia sudah tidak sabar menunggu untuk hadirnya seorang pemimpin yang mampu mengubah brand Indonesia lebih baik,  ditunjang brand platform yang kokoh. Pemimpin yang memiliki mindset, attitude, spirit untuk memperjuangkan sesuatu yang bernilai. Menjadi bangsa yang berkarakter Pancasila dan ber Bhinneka Tunggal Ika dan mampu mengokohkan posisi kontribusinya di dunia.

“The energy of the mind is the essence of life.”

― Aristotle