Koalisi, bagaimana sebuah partai politik memilih partner yang sesuai dengan platform, ideologi dan sejenisnya adalah berita yang menghiasi berbagai media dan ditunggu masyarakat Indonesia dalam sepekan terakhir ini. Pesta demokrasi pemilihan calon legislatif ini sekaligus membuktikan bahwa begitu tidak berartinya bombardir iklan dan berbagai brand campaign jika tidak didukung elektebilitas dan kualitas sebuah institusi atau individu.
Dalam dunia brand, istilah koalisi lebih tepat dianalogikan dengan kolaborasi brand. Menurut Mohan Sahwney, profesor Kellog; sifat kolaborasi ini adalah mutualisme yang harusnya menguntungkan untuk menciptakan kreativitas baru. Saat ini kolaborasi brand termasuk salah satu strategi mutualisme yang dapat dilakukan dengan saling bertukar gagasan dan penciptaan bersama sebuah produk, platform, maupun desain baru. Beberapa brand ternama sekaligus market leader pun melakukannya. Casio G-Shock bersama Michael Jordan Brand melakukan kolaborasi saat mengeluarkan 3 macam arloji edisi special. Evian pernah menggandeng desainer botol ternama mulai Jean Paul Gaultier, Paul Smith, hingga Issey Miyake untuk meningkatkan efektifitas kampanye minuman yang tidak hanya berkualitas, namun juga mampu menyuarakan energi generasi muda. Coca Cola bahkan hingga saat ini selalu berkolaborasi dengan berbagai group musik ternama untuk selalu menawarkan kesegaran pencitraan,
Bagaimana hasil nyata sebuah kolaborasi? Dong Yang, Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Otomotif China pernah mengkritik merek-merek kolaborasi beberapa pabrikan terkemuka dunia dengan perusahaan lokal China. Alasan utamanya tidak terjadi inovasi yang berarti dan produsen lokal tidak mendapatkan alih teknologi. Di 2008: Honda dan Guangzhou Automobile pernah memperkenalkan Everus, 2010: General Motors memperkenalkan Baojun, hasil kolaborasi dengan SAIC-GM-Wuling Automobile. Namun semua itu hanya dipandang memasarkan mobil lama yang dikemas ulang (repackaged), semuanya masih menggunakan teknologi konvensional.
Sebaliknya di dunia fesyen, Forbes pernah menobatkan Uniqlo yang didirikan Yanai Tadashi pada tahun 1984 sebagai salah satu peritel busana paling kaya sedunia. Ini berkat strategi kolaborasinya sejak 2004 dalam bentuk “corporate collaboration”. Sempat mengalami masa krisis saat diterpa persaingan sengit, strategi harga rendah yang diterapkan tak cukup untuk mengangkat angka penjualan dikarenakan kecenderungan desain yang seragam untuk berbagai karakter individu. Uniqlo akhirnya berhasil mengembangkan inovasi lebih lanjut dalam hal desain maupun fungsi fesyen mereka. Kolaborasi agresif dengan para desainer ternama dan merek-merek besar membuat Uniqlo memiliki jangkauan bisnis lebih luas lagi, termasuk ekspansi ke pasar Internasional. Dan akhirnya mampu bersaing dengan brand ternama lainnya GAP, ZARA, H&M, Ross, dan Limited Branch. Pada tahun 2011, penjualan di pasar Asia mencapai 70% dari total penjualannya. Uniqlo juga memperkuat infrastruktur bisnisnya di luar Asia, seperti Perancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Lebih dari 200 outlet Uniqlo tersebar ke seluruh dunia.
Jadi kekuatan kolaborasi brand terjadi di saat:
- Adanya potensi lahirnya kekuatan yang lebih besar untuk mewujudkan suatu tujuan dan visi yang sejalan. Orientasi yang menekankan kebaikan suatu kelompok di atas keuntungan pribadi, yang akhirnya akan menempatkan kebutuhan pelanggan di atas kepentingan diri mereka sendiri. Penciptaan brand experiences yang hebat !
- Adanya potensi memprediksi dan melahirkan keputusan lebih baik daripada seorang ahli sekalipun di saat individu-individu tersebut bekerjasama. Proses kolaborasi brand harusnya mendatangkan kekuatan dari wisdom of crowds. Konsep ini dipopulerkan oleh James Surowiecky dalam bukunya The Wisdom of Crowds. Brand-brand tersebut bahkan harusnya mampu me-leverage sekumpulan intelijen dari suatu crowds yang bisa difungsikan dengan teknologi melalui crowdsourcing ideas dan solusi, serta dengan menciptakan komunitas online yang mampu berdiri sendiri.
- Adanya potensi meningkatkan kemampuan mendengarkan dan merespons yang lebih baik voice of customers. Termasuk memonitor social media dengan menganalisis kesan dan pesan yang sampai terhadap brand kita apakah positif, negatif, netral. Dengan kolaborasi yang tepat, harusnya kita mengetahui arah dan kecenderungan dari pasar. Kita mampu memprediksi ‘moment of truth’ dengan lebih akurat sehingga mampu melakukan inovasi yang tepat.
Seperti apa yang pernah dikatakan Simon Mainwaring: “Effectively, change is almost impossible without industry-wide collaboration, cooperation and consensus.”
So we Play it !