Lima puluh satu tahun lalu tepatnya tanggal 8 Februari 1963, dunia mencatat hadirnya televisi berwarna untuk pertama kalinya. Hingga saat ini kita pun merasakan begitu pentingnya nilai produk yang satu ini. Bahkan ada penelitian menyatakan di beberapa kota besar Indonesia jumlah televisi di satu rumah mampu melebihi jumlah penghuninya sendiri. Menariknya sebuah survei dilakukan ZDC di China di tahun 2013 dan hasilnya 75% responden lebih memilih video online dibanding televisi. Dan alasan utamanya adalah mereka merasa kurang nyaman akibat begitu banyaknya iklan produk!
Bagi saya pribadi menonton sajian iklan di televisi menjadi nostalgia tersendiri. Masa kanak-kanak di era tahun 70 an, saya tidak dapat memilih ‘channel’ televisi khusus. Karna tidak ada pilihan, cuma ada satu stasiun televisi nasional. Dan ada satu tayangan khusus “Siapa Suka Siaran Niaga” berisi berbagai iklan singkat promosi produk yang mau tidak mau dikonsumsi selama jeda waktu menunggu lanjutan acara film kartun era Mighty Mouse, Flinstone, Hong Kong Phooey dan lain-lain di era tersebut. Uniknya, iklan tempo dulu tersebut jauh dari sentuhan teknologi canggih, namun bagi saya cukup banyak yang masih membekas dan berkesan hingga sekarang.
Sebenarnya apa yang menyebabkan iklan di televisi makin memiliki tantangan yang besar? Di tengah makin maraknya iklan yang diiringi dengan dukungan teknologi yang makin muktahir, biaya yang tidak murah tentunya, justru keampuhannya untuk merebut hati konsumen makin dipertanyakan. Bahkan tidak jarang beberapa brand menggunakan iklan dengan dukungan teknologi yang justru dapat melarikan diri dari kenyataan dan membangun fantasi berlebih di benak konsumen.
Dr. A.K. Pradeep, CEO NeuroFocus berpendapat begitu banyak iklan yang saat ini dapat diciptakan memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mempengaruhi pikiran bawah sadar seseorang. Sayangnya cukup banyak “brand promise” yang terlalu tinggi dibandingkan kualitas produknya sendiri.
Kisah menarik dari Alexander Vittouris seseorang yang pernah dijuluki pendongeng paling berbakat di dunia periklanan Amerika. Ia memimpin perusahaan yang dianugerahi penghargaan Agency of the Year selama 13 tahun berturut-turut. Di era keemasannya, akhirnya ia justru memutuskan untuk berhenti dan meninggalkan dunia periklanan yang menurutnya penuh dengan kebohongan. Ia menyadari teknologi yang ia kuasai, banyak yang akhirnya bukan untuk membuat orang makin nyaman. Banyak brand kliennya yang ternyata menawarkan sesuatu yang palsu.
Seperti tulisan kami sebelumnya bahwa untuk membentuk FUNtastic brand dibutuhkan tiga unsur: Humanity, Art, dan Technology. Dan ketiganya harus saling terkait. Pada saat sebuah brand mengedepankan unsur teknologi dan art, namun melupakan unsur humanity nya, perlahan tapi pasti brand tersebut akan kehilangan energinya.
Karena itu pemanfaatan teknologi dalam branding bukan dengan mengumbar fantasi sebuah brand. Hal terpenting bagaimana secara transparan mampu meningkatkan image sebuah brand sesuai dengan realita kekuatan brand tersebut. Transparansilah yang akan memenangkan era ‘survival game’. Kembangkan unsur teknologi sebuah brand dengan mewujudkan “what you see what you get.” Kita kembangkan teknologi dalam brand sebagai usaha menambah koleksi pengalaman menyenangkan di hati para konsumennya. Bukan sekedar iklan fiksi!
Dan konsumen pertama yang mampu merasakan pengalaman tersebut harusnya konsumen di dalam organisasi pemilik brand tersebut. Jadi sebagai contoh jika sebuah perusahaan pabrikan dan penjual detergen dengan merek tertentu, harusnya salah satu konsumen paling loyalnya adalah para karyawan pabrik detergen tersebut. Inilah kekuatan transparansi sebuah brand yang bisa diperkuat nantinya dengan dukungan teknologi. Namun jika hal ini belum terjadi, justru perusahaan lebih berfokus mengembangkan fantasi brand…. maka ingatlah kalimat bijak dari seorang Jendral Bintang 5 terakhir dari Amerika, Omar N. Bradley.
“If we continue to develop our technology without wisdom or prudence, our servant may prove to be our executioner.”