“Silence is the ultimate weapon of power.”

~ Charles de Gaulle

Ajang penghargaan terbesar insan film dunia Academy Awards ke-86  baru saja berlalu, 2 Maret kemarin.  Dan kali ini kita akan menyikapi bagaimana sebuah Brand mampu menghadapi proses survival game nya, belajar dari balik hingar bingarnya ajang tersebut. Ajang yang identik dengan penghargaan  bergengsi piala OSCAR, sebuah patung  ksatria berlapis emas yang berdiri di atas gulungan pita  film dengan pedang di tangan menjulang ke atas. Identik dengan para pemenangnya, karirnya diprediksi makin menjulang juga seiring brand nya yang makin meningkat.

Ada dua film peraih Best Picture yang dapat memberikan inspirasi tentang kekuatan sebuah brand dalam menghadapi persaingan. Yang pertama adalah film WINGS (film pertama peraih best picture ajang piala OSCAR 1 yang digelar 16 Mei 1929).  Di saat belum diciptakannya teknologi ‘suara’ dan ‘warna’ kala itu, justru film satu ini berhasil menorehkan kesan mendalam bagi saya pribadi. Khususnya saat saya menonton ‘behind the scene’ nya.  Mengapa?

Film dengan cerita romance di era Perang Dunia I tersebut, menuntut aktor utamanya Charles ‘Buddy’ Rogers mampu menerbangkan pesawatnya secara nyata. Tidak ada kata lain, selain ia harus fokus berlatih untuk pengalaman baru seumur hidupnya tersebut. Belum lagi para pemain pendukung yang benar-benar mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan adegan dahsyat jatuhnya pesawat yang dikendalikannya. Mereka harus menghitung dengan cermat, waktu tersisa paling singkat untuk keluar dari pesawat dan membuka parasutnya sebelum pesawat benar-benar meledak menyentuh ke bumi. Semua itu dilakukan karena adanya KETERBATASAN. Belum ada teknologi CGI dan sejenisnya, justru membuka kesempatan baru untuk mendobrak dinding keterbatasan diri. Suatu pengalaman yang mungkin tidak pernah mereka alami, jika tidak ada tuntutan skenario yang menantang.

Yang kedua, Film The Artist pemenang Best Picture Piala Oscar 2012. Justru di era perfilman modern saat ini yang telah didukung teknologi efek visual yang menakjubkan, ada sebuah film yang ‘sangat sederhana’ yang telah mencuri perhatian para juri Academy Award ke-84. Film yang mengisahkan sepak terjang aktor film bisu kenamaan di era 1920 George Valentin tersebut seakan-akan telah menyadarkan kita begitu berartinya ‘back to silence’.  Ini film cerdas, sebuah film yang berani melawan arus, namun justru mengingatkan salah satu sisi kekuatan pikiran manusia untuk berimajinasi. Film yang sengaja dibuat tanpa warna dan suara ini, menimbulkan efek ‘silence’ yang tidak bisu. Sebaliknya mampu berbicara melalui sisi  Humanity nya secara mendalam di tiap penontonnya.

Kedua film tersebut mengingatkan kita ke beberapa aspek.

  1. Hati-hati bagi perusahaan yang mengeksplorasi modal mereka dengan hanya memborbardir strategi kampanye brand via media on-line. Seperti apa yang dikatakan Global Head of Social, Ogilvy Action:“People don’t want to talk about brands, they want to talk about their lives”. Sudah saatnya kita renungkan, apakah brand kita telah dibangun dengan memberikan kesempatan bagi calon konsumen untuk melakukan refleksi, dan mulai membangun imajinasi mengapa mereka harus memilih brand kita, dalam sisi apa brand kita mampu menjawab kebutuhan kehidupan mereka. Bukankah banyak orang yang hanya menikmati iklan promosi, tanpa pernah meluangkan waktu merasakan produk brand Berilah waktu ‘silence’, dan konsumen kelak akan mengambil keputusan dalam keheningan yang bermanfaat.
  2. Alih-alih mengeluarkan biaya besar untuk periklanan, pemilik brand dapat meninjau ulang, dan mempersiapkan yang terbaik apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi the real needs dari para konsumennya. Bagaimana dengan keterbatasan yang ada, justru pemilik brand memiliki tantangan menemukan sisi terbaik dalam organisasinya dan melatihnya terus untuk menjadi kekuatan yang unik.

Let’s Play  Silence of the Brand!